BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Perikatan dalam arti luas meliputi
semua hubungan hukum antara dua pihak dimana satu pihak itu ada hak dan dipihak
lain ada kewajiban. Dengan berpegang pada perumusan seperti itu, maka di
dalamnya termasuk semua hubungan hukum yang muncul dari hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan, dimana disatu pihak
ada hak dan yang lain ada kewajiban. Ada berbagai acam-macam
perikatan : Perikatan bersyarat, Perikatan yang digantungkan pada suatu
ketetapan waktu, Perikatan yang membolehkan memilih, Perikatan tanggung
menanggung, Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi, Perikatan
tentang penetapan hukuman
Sebagai contoh, Kerjasama yang dilakukan oleh pihak
PT.GPU dengan PT.KSE dalam memesan peralatan mesin traktor dan peralatan kebun
lainnya. Namun peralatan mesin perkebunan itu telah rusak setelah dipakai
beberapa bulan. PT.KSE menuding perusahaan PT.GPU ini mengingkari kontrak
perbaikan mesin perkebunan mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi
perbaikan hingga 1 tahun. Saat itu PT.KSE meminta mesin tersebut diservis
kembali lantaran baru dipakai selama 3 bulan, akan tetapi PT.GPU menolak.
Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi
diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang membuat pihak
PT.KSE naik pitam sehingga kasus ini di bawa ke pengadilan.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1.
Permasalahan apa yang terjadi antara PT.GPU (Gorby
Putra Utama) dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy)?
2.
Bagaimana penyelesaian kasus tersebut?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui dasar atau permasalahan antara PT. GPU
(Gorby Putra Utama) dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy).
2.
Mengetahui penyelesaian dan akhir permasalahan atau
kasus tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KRONOLOGI
KASUS
Kasus antara PT.GPU (Gorby Putra Utama) dengan PT.SKE
(Sentosa Kurnia Energy)
PT.GPU salah satu perusahaan
peralatan yang menyediakan peralatan kebutuhan perkebunan tersandung masalah
dengan PT.KSE. Kasus ini muncul saat keduanya menjalin kerjasama pada bulab
maret 2012. Kala itu, PT.KSE memesan peralatan mesin traktor dan peralatan
kebun lainnya dari PT.GPU, kemudian pada bulan mei tahun 2012 peralatan mesin perkebunan itu
datang secara bertahap dan pada bulan juni 2012 pemesan peralatan mesin
perkebunan itu usai atau telah tuntas.
Tak berselang lama dari itu,
tepatnya tanggal 23 september 2012 peralatan mesin perkebunan itu telah rusak
setelah dipakai beberapa bulan. PT.KSE menuding perusahaan PT.GPU ini
mengingkari kontrak perbaikan mesin perkebunan mereka yang menurut perjanjian
memiliki garansi perbaikan hingga 1 tahun. Saat itu PT.KSE meminta mesin
tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai selama 3 bulan, akan tetapi
PT.GPU menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam
kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang
membuat pihak PT.KSE naik pitam. Pada bulan desember 2012 PT.KSE pun menggugat
ke PT.GPU dengan ganti rugi sebesar US$ 5 juta atau sekitar Rp 76 miliar ke
Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui
jalan buntu.
Dengan dasar itu, pada maret 2013
PT.KSE mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan. Padahal di
sisi lain, PT.GPU memiliki hutang perawatan mesin perkebunan milik PT.KSE sejak
Agustus 2011, dan tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian tersebut PT.GPU
memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian
peralatan perkebunan, padahal peralatatan perkebunan itu sudah siap untuk
diserahkan sehingga kerugian di pihak PT.KSE mencapai ratusan juta rupiah
disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini
yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2012. Tapi tak
kunjung dilunasi oleh PT.GPU hingga pertengahan tahun 2012.
Pada mulanya pihak PT.KSE tidak
ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan antara PT.KSE dan PT.GPU
sangat baik, namun setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak
PT.KSE dengan cara mendatangi pihak PT.GPU di kantor PT.KSE, tetap saja tidak
ada respon timbal-balik dari PT.GPU. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang
dilakukan oleh PT.KSE dengan membawa perkara peralatan mesin perkebunan itu ke
pengadilan bisa berbanding terbalik dengan perlakuan PT.GPU yang ingin
menyelesaikan perkara hutang PT.KSE dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke
pengadilan. Setelah pihak PT.KSE bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya
permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.
Menurut Sugeng “PT.GPU sebagai salah
satu perusahaan yang menyediakan peralatan perkebunan, telah melakukan
transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah
memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga
somasi yang telah dilayangkan oleh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih tidak
ada konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku
kuasa hukum PT.KSE akan menggugat PT.GPU ke pengadilan, begitulah, PT.GPU
benar-benar dalam keadaan siaga saat.
2.3 ANALISIS
KASUS
Perseteruan yang terjadi antara
PT.GPU milik perusahaan ternama di bidang peralatan perkebunan dengan PT.KSE
tidak kunjung usai, hal ini disebabkan karena:
1. Kerjasama
yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan dengan transaksi
bisnis berlandaskan i’tikad buruk.
2. Pihak PT.GPU
tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini PT.GPU sebagai debitur
dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).
3. Pihak PT.GPU
telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan peralatan mesin
perkebunan, padahal peralatan perkebunan sudah selesai dikerjakan dan siap
untuk diserahkan, hal ini menyebabkan kerugian ratusan juta (tak terhingga)
oleh PT.KSE.
4. Pembayaran
hutang perawatan oleh pihak PT.GPU yang melampaui tempo yang diperjanjikan.
Sebelum menganalisis poin-poin di
atas yang akan dihubungkan dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, akan dipaparkan mengenai pengertian perjanjian yang sesuai dengan
Pasal 1313 B.W, yang berbunyi, ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.
Dalam Pasal 1313 B.W dapat diambil
kesimpulan bahwa dalam pasal ini menurut pakar hukum perdata (pada umumnya)
bahwa definisi perjanjian terdapat di dalam ketentuan di atas tidak lengkap
karena hanya bersifat sepihak saja, kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus,
pengertian perjanjian terlalu luas, dan tanpa menyebut tujuan, akan tetapi
berdasarkan alasan tersebut perjanjian dapat dirumuskan, yaitu perjanjian
adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.
Pada poin pertama di atas disebutkan
bahwa, Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan
dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk. Pada dasarnya, sebelum
mengadakan perjanjian diwajibkan atas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
untuk mengetahui dengan seksama akan pentingnya asas-asas perjanjian, yang mana
hal ini dapat mencegah adanya permasalahan yang akan terjadi diantara kedua
belah pihak.
Asas-asas tersebut antara lain:
1. Asas Kebebasan
Berkontrak
2. Asas Pacta Sunt
Servanda
3. Asas Konsesualisme
Asas ketiga diatas merupakan sektor
utama yang harus ditonjolkan. Karena asas ini merupakan syarat mutlak bagi
hukum perjanjian yang modern dan bagi terciptanya kepastian hukum. Ketentuan
yang mengharuskan orang dapat dipegang adalah ucapannya, adalah suatu tuntutan
kesusilaan dan memanglah benar bahwa kalau orang ingin dihormati sebagai
manusia, ia harus dapat dipegang perkataannya namun hukum yang harus
menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat,
memerlukan asas konsesualisme itu demi tercapainya Kepastian Hukum. Asas
konsesulaisme tersebut dapat dikatakan sudak merupakan asas universil, dalam
B.W disimpulkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1338 (1): Semua perjajian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan
istilah “semua” maka pembuat undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang
dimaksudkan bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga
perjanjian yang tidak bernama. Dengan istilah “secara sah” pembentuk
undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut. Semua
persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat,
maksudnya secara sah disini ialah bahwa pembuatan perjanjian (pasal 1320) KUH
Perdata harus diikuti, perjanjian yang telah dibuat secara sah mempunyai
kekuatan atau mengikat pihak-pihak sebagai undang-undang, disini juga akan
tersimpulkan bahwa asas yang tercantum adalah asas kepastian hukum. Disebutkan
dalam Pasal 1320 B.W untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang
halal
Kedua syarat yang pertama dinamakan
syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek pejanjian,
sedangkan kedua syarat yang terakhir disebutkan syarat objektif, karena
mengenai objek dari perjanjian akan tetapi dalam analisis ini terfokus pada
subjek perjanjian. Sebagaimana pernyataan kuasa hukum PT.KSE, Sugeng Riyono
S.H, “PT.GPU sebagai salah satu perusahaan peralatan perkebunan telah melakukan
transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah
memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama, bahkan tiga
somasi yang telah dilayangkan olrh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih tidak
ada konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE. I’tikad baik diwaktu membuat
perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beri’tikad baik akan menaruh kepercayaan
sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan
sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.
I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran, maka i’tikad baik
ketika dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan, yaitu suatu
penilaian baik terhadap tindakan suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang
telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai dengan Pasal 1338 B.W yang berbunyi,
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan I’tikad baik. Maka, sesuai dengan
isi pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan dengan i’tikad
baik, bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam
hal pelaksanaan tersebut.
PT.GPU tidak melaksanakan apa yang
diperjanjikan, dalam hal ini PT.GPU sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji”
(wanprestasi). Wanprestasi yang dilakukan PT.GPU merupakan sesuatu yang
disebabkan dengan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat, sebagaimana
menurut Subekti, Wanprestasi berarti kelalaian seorang debitur, dalam hal:
1. Tidak melakukan apa
yang disanggupi akan dilakukan
2. Melaksanakan apa yang
dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3. Melakukan apa yang
dijanjikan akan tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Kelalaian PT.GPU terhadap PT.KSE
menjadikan terhambatnya kinerja produksi lain yang akan dibuat oleh PT.KSE.
Sesuai dengan Pasal 1243 B.W yang berbunyi,”Penggantian biaya, rugi dan bunga
karena tak dipenuhinya perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika
sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Adapun yang merupakan
model-model dari prestasi adalah seperti dalam Pasal 1243 B.W yaitu:
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu
Tindakan wanprestasi membawa
konsekwensi terhadap timbulnya hak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang
melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi dan bunga, sehingga oleh
hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena
wanprestasi tersebut. Tindakan-tindakan tersebut terjadi karena:
1. Kesengajaan
2. Kelalaian
3. Tanpa kesalahan
(tanpa kesengajaan atau kelalaian)
Untuk adanya kewajiban ganti rugi
bagi debitur maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu
dinyatakan dalam keadaan lalai. pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya
hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji”
wanprestasi. Jadi maksudnya adalah peringatan atau pernyataan dari kreditur
tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memebuhi prestasi. Dalam Pasal 1238
B.W disebutkan bahwa,“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa ia berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yan g telah ditentukan. Bahwasanya
peryataan lalai diperlukan dalam hal orang meminta ganti rugi atau meminta
pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji. Hal ini digunakan
untuk mengantisipasi kemungkinan agar debitur tidak merugikan kreditur.
Disebutkan dalam poin ketiga adalah
pihak PT.GPU telah mengadakan pembatalan sepihak hutang perawatan dan pembelian
peralatan perkebunan sehari setelah peralatan tersebut selesai dibuat, hal ini
menyebabkan produksi yang akan dibuat oleh PT.KSE menjadi terbengkalai.
Pembatalan ini tanpa ada alasan yang jelas dari PT.GPU. Disebutkan dalam Pasal
1338 (2) B.W bahwa,Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu. Pasal ini menjelaskan bahwa perjanjian tidak dapat
ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat antara keduanya, dan
apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam
kontrak, maka pada umunya (dengan beberapa pengecualian) tidak dapat dengan
sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. debitur dinyatakan lalai oleh
kreditor yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” (somasi) oleh pihak kreditor
(pasal 1238 B.W). dikeluarkannya akta ini berdasarkan mekanisme yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ketentuan di atas maka PT.GPU
dikenakan beberapa pasal, antara lain:
1.
Pasal 1243 B.W : Penggantian biaya, rugi dan bunga
karena tak dipenuhinya perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika
sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
2.
Pasal 1246 B.W : Biaya, rugi dan bunga yang oleh si
berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas
rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya,
dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang
akan disebut.
3.
Pasal 1247 B.W : Si berutang hanya diwajibkan
mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat
diduganya sewaktu perikatan dialahirkannya, kecuali jika hal tidak dipenuhinya
perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dialakukan olehnya.
4.
Pasal 1249 B.W : Jika dalam perikatan ditentukannya,
bahwa si yang lalai memenuhinya, sebagai ganti rugi harus membayar suatu jumlah
uang tertentu, maka kepada pihak yang lain tak boleh diberikan suatu jumlah
yang lebih maupun kurang dari pada jumlah itu.
5.
Pasal 1250 B.W : Dalam tiap-tiap perikatan yang
semata-mata berhubungan denga pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi
dan bunga sekedar disebabkan terlambatnya pelaksanaannya, hanya terdiri atas
bunga yang ditentukan undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan
undang-undang khusus. Penggantian biaya, rugi dan bunga tersebut wajib dibayar
dengan tidak usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.
Ganti rugi yang diterima dari
hitungan materil yakni berupa penyitaan peralatan mesin perkebunan milik PT.GPU
yang bernilai Rp18,3 milliar mugkin sudah memadai kerugian yang diderita si
berpiutang akibat tidak dipenuhinya perjanjian oleh si berutang, namun rasa
kecewa tidak mungkin dapat ditebus, sebagaimana PT.GPU yang tidak merespon baik
ketika pihak PT.KSE datang menemui PT.GPU di kantornya untuk menagih utang
PT.GPU yang tersendat menimbulkan dampak pada produksi lain, mengingat hubungan
baik PT.GPU dengan PT.KSE mengundang rasa kecewa dikarenakan akhir cerita
kerjasama yang dilakukannya mengalami permasalahan hukum. Dengan demikian,
ganti rugi hanyalah merupakan “obat” atas derita yang dialami karena apa yang
diinginkan itu tidak datang atau diberikan oleh pihak lawan.
BAB 3
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Dari uraian dan analisis kasus
diatas, tampaklah hubungan antara perjanjian dan perikatan yang dilakukan oleh
PT.GPU dan PT.KSE yang mana hubungan diantara keduanya berawal dari PT.KSE
membeli peralatan mesin perkebunan dari PT.GPU. Selanjutnya PT.GPU memiliki
hutang perawatan dan pembelian peralatan mesin perkebunan yang kala itu
penyerahannya sudah siap seratus persen sehari sebelumnya, akan tetapi ada
batas berakhir menjadi suatu permasalahan hukum, dikarenakan PT.GPU melakukan
wanprestasi terhadap PT.KSE.
Di sisi lain debitor melakukan
kesalahan dengan tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan maka dikatakan
wanprestasi ”ingkar janji”. Dan kreditur dapat menunutut debitor yang telah
melakukan ini (wanprestasi) melalui mekanisme, yakni somasi dengan bertujuan
mendorong debitor untuk segera memenuhi prestasinya, tanpa melalaikannya atau
meninggalkannya.
makasih ya mba makalah nya...
BalasHapusinfo yang sangat bermanfaat
BalasHapuskok sama ya mbak tulisannya sama kasusnya pt metro batavia dengan pt garuda maintenance facility
BalasHapus